MEMBIMBING SEPENUH HATI INSAALLAH MELAHIRKAN GENERASI YANG RELIGIUS, BERKEPRIBADIAN, CERDAS, KREATIF, DAN BERPRESTASI

WAJAH PENDIDIKAN ISLAM TERPADU


(Upaya Mengintegrasikan Kembali Dikotomi Ilmu Pengetahuan)
Oleh; Mohammad Roby Ulfi Zt

A. Prolog : Pendidikan Pangkal dan Ujung Kebangkitan

Pendidikan itu super penting. Tidak ada keraguan sedikitpun, bahwa pendidikan adalah asas paling berpengaruh bagi maju-mundurnya sebuah peradaban. Pendidikan yang buruk akan menjadikan peradaban yang terpuruk. Sebaliknya, peradaban yang maju tidak bisa terlepas dari peranan pendidikan yang baik. Jadi, membangun pendidikan sama artinya membangunan masa depan. Dan jika ditemukan sebuah peradaban begitu terbelakang, maka langkah pertama dan yang paling utama untuk membenahinya adalah membenahi sistem pendidikannya. Karena fakta historis telah lama menggariskan, tidak ada satupun peradaban yang bangkit tanpa didahului oleh bangkitnya tradisi ilmu dalam sistem pendidikannya, entah itu peradaban kuno maupun modern.

Lalu, bagaimanakah dengan kualitas pendidikan di Indonesia dan dunia Islam kita? Berdasarkan table liga global yang diterbitkan Firma Pendidikan Pearson November 2012 lalu, kualitas sistem pendidikan Indonesia menempati peringkat terendah di dunia bersama Meksiko dan Brasil. Ternyata pendidikan Indonesia 2012 masih belum naik dari hasil survey Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berpusat di Hongkong pada tahun 2001, yang menyebutkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia terburuk di kawasan Asia. Disisi lain, wajah Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbanyak sedunia ikut tercoreng. Yah, diakui atau tidak saat era informasi dan terknologi sekarang ini umat Islam dimanapun berada dirasa sangat minim memberikan kontribusi signifikan pada dunia. Umat Islam yang begitu mayoritas berada di garda terbelakang dalam pengembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan, hingga keberadaannya tak dianggap ada selain sebagai obyek dan konsumen produk-produk luar.

Sementara itu, dunia Barat sangat menghegemoni peradaban dunia selama kurang lebih tiga abad ini. Hasil pendidikan dan ilmu pengetahuan yang dikembangkan Barat berhasil melahirkan berbagai macam dampaknya terhadap kehidupan manusia dan lingkungannya. Di satu sisi ia mampu membantu dan meringankan beban manusia, namun di sisi lain ia juga mempunyai andil dalam menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan dan agama, bahkan eksistensi itu sendiri. Ilmu Barat yang bercorak sekuler dibangun di atas filsafat materialistisme, naturalisme dan eksistensialisme melahirkan ilmu pengetahuan yang jauh dari nilai-nilai spiritual, moral dan etika.

Dari perkembangan ilmu pengetahuan yang bebas nilai itu, ternyata aspek pendidikan belum mampu menimalisirnya, apalagi mengatasinya. Setidaknya ada beberapa faktor di antaranya masih ada pandangan dikotomis ilmu secara substansial (ilmu agama dan ilmu umum). Bila budaya dikotomi ilmu dari aspekk pendidikan ini dibiarkan terus menerus, niscaya akan melestarikan keterbelakangan umat Islam dan menjadikan umat Islam sebagai umat konsumtif yang statis.

Ketebelakangan umat Islam saat ini adalah buah dari pendidikan yang dianggap kurang berhasil –untuk tidak mengatakan “gagal”- dalam menghadapi berbagai tantangan global dan krisis multidimensional yang harus sesegera mungkin dicarikan solusinya agar masa depan umat Islam menjadi lebih baik. Sebab, bagaimanapun juga, pembenahan pendidikan adalah pangkal sekaligus ujung kebangkitan umat Islam.

Berangkat dari spirit diatas, penulis melalui goresan sederhana ini berupaya mewacanakan wajah pendidikan Islam terpadu sebagai salah satu solusi tepat yang mesti kita kembangkan bersama. Pendidikan Islam terpadu bagi penulis telah memiliki akar sejarah yang kuat sa at peradaban Islam mencapai puncak kejayaannya. Makalah ini akan sedikit menghantarkan kita pada tradisi keilmuan dalam sejarah Islam, kemudian beranjak ke terma epistemologi ilmu pengetahuan Barat yang menciptakan dikotomi-dualisme, perkelahian agama-ilmu, dengan berbagai dampak buruknya. Dan berakhir untuk membahas bagaimana langkah kita mengintegrasikan (memadukan, red) kembali dikotomi ilmu pengetahuan tersebut.


B. Tradisi Keilmuan dalam Sejarah Islam

B.I. Ilmu dalam Al Quran dan Sirah Nabawiyah

Sebenarnya Islam tidak mengenal dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. Marlilyn R. Wargman, seorang Islamisis Barat, menegaskan bahwa tidak ada dikotomi dalam Islam. Hal ini didasarkan atas universalitas Islam sendiri yang ajarannya mencakup semua aspek kehidupan dan ini sejalan dengan fungsi al-Quran sebagai rahmat bagi semesta alam.

Ilmu sebagai dasar pijakan dalam terjadinya dikotomi dan dualisme dalam pendidikan dapat kita kaji dan analisa dari al-Quran. Kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam al-Quran. Ini menunjukkan betapa besar urgensitas kedudukan ilmu bagi kehidupan manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi. Diperkuat lagi dengan adanya 750 ayat al-Quran yang berbicara tentang alam materi dan fenomenanya (al ayat al kauniyat). Hal ini, tulis Quraish Shihab, mengisyaratkan agar manusia mengetahui dan memanfaatkan alam ini sesuai dengan tuntunan-Nya.

Pengertian ilmu dalam al-Quran, menurut al-Raghib al-Ashfahani (w. 502 H), ada dua tipe; yaitu pengetahuan terhadap sesuatu yang belum terkait dengan sesuatu yang lain yang dikenal dengan istilah tashawwur; dan kedua, pengetahuan terhadap sesuaut yang telah terikat dengan sesuatu yang lain yang dikenal dengan istilah tashdiq. Dalam kitab lainnya bernama Adz-Dzari’ah, Al Ashfahani mendefinisikan ilmu secara umum dengan mengetahui hakikat sesuatu dengan sebenarnya. Melalui definisi ini, tegas Muhammad Sa’id al Buthi, ilmu dalam perspektif Islam lebih luas domainnya daripada science perspektif Barat. Tidak hanya terbatas materi, obyek ilmu dalam Islam juga meliputi metafisika dan non materi. Tidak hanya bersumber dari rasio dan panca indera, metodologi Islam juga melandaskan legalitas ilmu pada otoritas wahyu serta khabar yang terpercaya secara umum.

Nah, dari spirit Qurani inilah Nabi Muhammad mengajarkan dan mensupport para Sahabatnya untuk terus belajar menggali ilmu pengetahuan, sejak dari lahir hingga akhir hayat, walau musti ke negeri Cina. Dengan banyaknya hadith Nabawi yang mengagungkan kedudukan ilmu, pelajar, dan guru, semangat tradisi keilmuan lahir bergelora di tengah-tengah masyarakat Arab, yang saat itu tertinggal dan terpinggirkan. Setidaknya, tradisi keilmuan pada era Nabawi ini mulai terlihat jelas dengan munculnya “sekolah” Ashabus Shuffah pada sekitar tahun dua hijriah.

Di sekolah yang masih berlokasi di Masjid Nabawi ini, kandungan wahyu dan hadith-hadith Nabi dikaji dalam kegiatan belajar mengajar yang efektif. Jumlah peserta dalam komunitas keilmuan ini berbeda-beda dari waktu ke waktu, tapi anggota tetap komunitas ini sekitar 70 orang. Materi yang dikaji pada periode ini, sudah tentu masih sangat sederhana, tapi karena obyek kajiannya berpusat pada wahyu, yang betul-betul luas dan kompleks, maka ia tidak dapat disamakan dengan materi diskusi di Ionia, yang menurut orang Barat merupakan tempat kelahiran tradisi intelektual Yunani dan bahkan kebudayaan Barat (the cradle of western civilization). Yang jelas, Ashabus Shuffah adalah gambaran terbaik institusionalisasi kegiatan belajar-mengajar dalam Islam dan merupakan tonggak awal tradisi intelektual dalam Islam. Hasil dari kegiatan ini adalah munculnya, katakan, alumni-alumni yang menjadi pakar dalam hadith Nabi, seperti misalnya Abu Hurayrah (w. 59 H), Abu Dzar al Ghifari (w. 32 H), Salman al Farisi (w. 36 H), Abdullah bin Mas’ud (w. 32 H) dan lain-lain. Ribuan hadith telah berhasil direkam oleh anggota sekolah ini.

B.II. Akar Sejarah bagi Pendidikan Islam Terpadu

Kegiatan awal pengkajian wahyu dan hadith ini dilanjutkan oleh generasi berikutnya dalam bentuk yang lain. Dan tidak lebih dari dua abad lamanya telah muncul ilmuwan-ilmuwan terkenal yang multidisipliner. Abu Hanifah (w. 150 H), selain dikenal sebagai bapak fikih Islami, juga sangat kompeten dalam dunia bisnis. Dan Asy-Syafi’i (w. 204 H), yang dikenal sebagai perintis bangunan ushul fikih secara sistematis, juga ahli dalam bidang kedokteran.

Jadi, ulama-ulama kita dulu tidak pernah mempertentangkan ilmu umum dan ilmu agama, apalagi memarjinalkan salah satunya. Di mata mereka, semuanya penting dan musti dikuasai. Bukti bahwa ulama dulu tak pernah menganaktirikan disiplin ilmu tertentu dapat dilihat dari otoritas keilmuan yang dikuasai ulama-ulama terdahulu. Ini mengindikasikan Islam sangatlah menjunjung tinggi keutamaan ilmu dari aspek keutuhan ilmu para tokoh muslim.

Ulama terdahulu juga telah membuktikan kesatuan-keterpaduan ilmu yang wajib dipelajari. Al-Kindi (801-873 M), misalnya, merupakan seorang filsuf sekaligus agamawan, begitu pula al-Farabi (870-950 M). Ibn Sina (980-1037 M), selain ahli dalam bidang kedokteran, filsafat, psikologi, dan musik, beliau juga seorang ulama. Al-Khawarizimi (780-850 M) adalah ulama yang ahli matematika, astronomi, astrologi, dan geografi. al-Ghazali (w. 505 H/1058-1111 M), walaupun belakangan popular karena kehidupan dan ajaran sufistiknya, sebenarnya beliau telah melalui berbagai bidang ilmu yang digelutinya, mulai dari ilmu fikih, teologi, falsafah, hingga tasawuf. Begitu pula Ibn Rusyd (1126-1198 M), seorang dokter muda, filsuf sekaligus faqih yang mampu menghasilkan karya magnum opus-nya Bidayat Al-Mujtahid, yang mampu mengsinergikan filsafat dan ilmu fiqh dan diangkat sebagai al-Mu’allim al-Tsani setelah Aristoteles di kalangan Barat. Ibn Khaldun al-Hadhrami (w. 808 H/1332-1406 M) dikenal sebagai ulama peletak dasar sosiologi modern dalam master piece-nya Al-Muqaddimah, yang sampai sekarang banyak ahli yang mengkajinya baik dari dari kalangan umat Islam maupun para orientalisme. Dan masih banyak ulama-ulama multidisipliner lainnya, baik yang tercatat sejarah apalagi yang tak tercatat.

Dari eksistensi ulama-ulama yang mampu memadukan antara ilmu agama dan umum dari berbagai belahan dunia Islam, lintas generasi dan kurun seperti diatas, bisa dipastikan dikotomi ilmu pengetahuan belum ditemukan dalam sistem pendidikan saat itu. Sebaliknya, mereka hidup dan besar dalam atmosfer pendidikan Islam yang terpadu. Tidak heran, peradaban Islam saat-saat itu begitu jaya disaat dunia Barat masih terbelakang diselimuti oleh masa yang disebutnya sebagai abad kegelapan.

Philip K. Hitti melukiskan peradaban Islam saat itu dengan mangatakan, “Selama berabad-abad, Arab merupakan bahasa pelajaran, kebudayaan, dan kemajuan intelektual bagi seluruh dunia yang berperadaban, terkecuali Timur Jauh. Dari abad IX hingga XI, sudah ada hasil karya di berbagai bidang, diantaranya filsafat, medis, sejarah, agama, astronomi, dan geografi banyak ditulis dalam bahasa Arab daripada bahasa lainnya.” (Bammate, 2000: 24)

Jika kita membaca sejarah peradaban Islam secara lengkap, kita semakin yakin tidak ada istilah dikotomi ilmu pengetahuan dalam tradisi intelektual para ilmuwan Islam. Banyaknya ulama yang punya otoritas keilmuan lebih dari satu bidang adalah bukti kuat ulama kita tidak mengenal konsep dikotomi ilmu. Mereka mampu memadukan ilmu-ilmu keagamaan dengan perkembangan ilmu-ilmu umum karena menyadari ilmu-ilmu itu semuanya bermuara dan menghantarkan kepada pengetahuan tentang “Hakikat Yang Maha Tunggal” yang merupakan subtansi dari segenap ilmu.

B.III. Klasifikasi Ilmu dalam Literatur Ilmuwan Islam

Tidak sedikit akademisi Muslim kontemporer yang salah paham dengan ditemukannya pembagian atau klasifikasi ilmu dalam banyak literature ilmuwan Islam masa lalu. Mereka terjebak dan mengklaim bahwa klasifikasi ilmu menjadi naqli-’aqli atau syari’i-ghair syar’i dan semacamnya merupakan jejak dikotomi ilmu yang telah lama mengakar dalam tradisi keilmuan Islam sejak dahulu kala.

Namun, benarkah demikian klaim tersebut?

Adalah Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq al Kindi ilmuwan Islam kali pertama yang merintis klasifikasi ilmu terdiri dari al-’ulum an-naqliyah dan al-’ulum al-’aqliyah dalam karyanya, Fi Aqsam Al-Ulum. Kemudin dilanjutkan oleh Abu Nashr Muhammad bin Muhammad al Farabi melalui karyanya Kitab Al-Ulum (Buku tentang Hierarki Ilmu), yang mendapat perhatian lebih luas. Osman Bakar manginformasikan pada kita bahwa al-Farabi mangklasifikasi ilmu pengetahuan untuk beberapa tujuan. Pertama, sebagai petunjuk umum pada beragam ilmu pengetahuan, sehingga pelajar hanya memilih untuk mempelajari subjek yang bermanfaat. Kedua, untuk mempelajari hirarki ilmu pengetahuan. Ketiga, berbagai macam divisi dan subdivisi memberikan cara yang bermanfaat bagi penentuan spesialisasi. Keempat, memberi informasi pada siswa tentang apa yang seharusnya dipelajari sebelum menentukan keahlian dalam ilmu pengetahuan tertentu.

Jadi, alasan utama klasifikasi yang dirintis oleh al Kindi dan kemudian dikembangkan oleh pakar-pakar ilmuwan generasi selanjutnya bukan untuk mendikotomi-mengkerdilkan disiplin ilmu tertentu, tapi justru ingin menegaskan semua disiplin ilmu itu dalam tatanan hirarki satu kesatuan sekaligus agar kita mudah mengetahui hubungan yang tepat antara berbagai macam disiplin. Klasifikasi ilmu pengetahuan merupakan keniscayaan karena para ilmuwan Islam sangat menyadari bahwa tidak ada konsep ilmu yang lengkap tanpa mengacu pada cakupan pokok masalahnya dengan kejelasan skop dan posisi tiap ilmu pengetahuan dalam skemanya secara keseluruhan.

Dari sekian bukti-bukti sejarah dan kejelasan diatas, sekali lagi bisa tegaskan, secara normative-konseptual dalam pendidikan Islam tidak dijumpai dikotomi ilmu pengetahuan.

B.IV. Faktor-faktor Dikotomi Ilmu Pengetahuan dalam Masyarakat Islam

Bila pada sub-sub sebelumnya telah dipaparkan tradisi keilmuan Ilsam yang integratf-terpadu dan keberhasilannya dalam membentuk peradaban Islam yang disegani oleh seluruh dunia, ketika kita melihat dan bandingkan kejayaan masa silam itu dengan realitas umat Islam masa kini, tentu muncul pertanyaan besar dalam benak kita, sejak kapan wajah pendidikan Islam terpadu itu mulai terkikis hingga masyarakat Islam kini terjanggit oleh paradigma berfikir yang serba dikotomis-dualisme?
Sebelum menjawab pertanyaan besar ini, alangkah baik kita terlebih dahulu memahami arti kata kunci jawaban ini, dikotomi/dichotomy. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikannya secara jelas sebagai pembagian di dua kelompok yang saling bertentangan. Jadi, syarat bisa dikatakan terjadinya dikotomi itu selain adanya pembagian juga harus terjadi pertentangan antar dua kelompok/lebih sebagai konsekuensi dari pembagian tersebut. Jika dibagi, tapi tak dipertentangkan, bukanlah disebut dikotomi. Dalam konteks ini, dikotomi ilmu pengetahuan berarti pandangan yang mempertentangkan antara ilmu keagamaan dan ilmu umum (science). Akhirnya, pandangan dikotomis ini mempunyai implikasi besar terhadap pengembangan pendidikan Islam yang lebih berorientasi pada keakhiratan, sedangkan masalah dunia dianggap tidak penting, serta terlalu menekankan pada pendalaman al-’ulum al-diniyah yang merupakan jalan pintas untuk menuju kebahagiaan akhirat, sementara sains dianggap terpisah dari agama.

Dan kembali ke pertanyaan, lantas kapankah pandangan dikotomis ini lahir dalam sistem pendidikan Islam? Banyak versi yang telah ditulis banyak pemerhati pendidikan keislaman kita. Satu versi dengan yang lainnya saling mengisi dan menguatkan. Dan dari berbagai versi itu, penulis bisa menarik benang hitam, setidaknya pandangan dikotomis yang merongrong sistem pendidikan Islam terpadu mulai tampak sejak ribuan bahkan jutaan karya ilmiah umat Islam hangus dan dirampas oleh 150.000 pasukan perang Salib I yang dipimpin oleh Godfrey, Bohemond, dan Raymond yang mampu meraih kawasan Palestina dari kekuasaan Khilafah Abbasiah pada tahun 1095 M. Tidak hanya perang Salib, pada tahun 1258 M/656 H umat Islam lagi-lagi mengalami kegetiran hidup yang teramat pedih sekaligus kehilangan ribuan naskah ilmiah saat 200.000 tentara Hulaghu Khan berhasil meruntuhkan Baghdad sebagai ibukota peradaban Islam waktu itu. Selain kota Palestina dan Baghdad, setelah dua setengah abad berikutnya; tahun 1492 M/897 H, jauh di belahan benua Eropa, kebesaran dan keagungan Andalusia sebagai pusat peradaban Islam disana dikepung dan ditaklukkan oleh satuan Kerajaan Ferdinand dari Argon plus Kerajaan Isabella dari Castilia. Jatuhnya Andalusia kepada pihak Kristen merupakan awal berakhirnya sejarah warga Muslim Spanyol, tak terkecuali sirnanya kekayaan khazanah intelektual Islam Andalusia.

Penaklukan Pelestina (1095 M), Baghdad (1258 M), dan Andalusia (1492 M) jelas sangat berperan besar terhadap merosotnya kualitas pendidikan Islam paska penaklukan. Berapa banyak ilmuwan yang syahid melawan penjajahan saat diserang? Berapa banyak karya ilmiah yang musnah dan dijarah setelah penaklukan-penaklukan itu? Semua itu semakin mengkaburkan sistem pendidikan Islam terpadu yang telah lama dibangun sebelum penaklukan. Setelah penaklukan inilah, model dikotomis mulai mewujud dalam realitas sejarah pendidikan Islam.


C. Krisis Epistemologi Ilmu Barat

Selain faktor penaklukan masa lalu, perkembangan ilmu pengatahuan modern yang dimotori Barat juga menciderai wajah pendidikan Islam sejak era kolonialisme hingga sekarang, sehingga posisi agama musti dipinggirkan karena menghambat dinamisasi ilmu pengetahuan. Berawal dari Bapak filsafat modern, RenĂ© Descartes (m. 1650), melalui prinsip “cogito ergo sum”, Descartes telah menjadikan rasio satu-satunya kriteria (rasionalisme) untuk mengukur kebenaran. Berbada dengan David Hume (m. 1776), yang menegaskan bahwa panca indera adalah sumber ilmu (empirisme). Keduanya lalu diperkaya oleh Immanuel Kant (m. 1804), bahwa metafisika itu ilusi transendent (a transcendental illusion), setiap pernyataan metafisis tidak memiliki nilai epistemologis (metaphysicial assertions are without epistemological value). Terpengaruh dengan pemikiran Kant, Hegel (m. 1831) dengan filsafat dialektikanya berpendapat pengetahuan adalah ongoing process, dimana tahap yang sudah tercapai “disangkal” atau dinegasi” oleh tahap baru.

Epistemologi ilmu sekuler yang ateisme ini kemudian menjalar ke dalam rahim berbagai ilmu pengetahuan. Adalah murid Hegel, Ludwig Feurbach (1804-1872), seorang ahli teologi Kristen, menegaskan agama adalah mimpi akal manusia (Religion is the dream of human mind). Terinspirasi dari Feurbach, Karl Marx (m. 1883) berpendapat agama adalah candu rakyat, keluhan makhluk yang tertekan, agama adalah faktor sekunder, sedangkan faktor primernya adalah ekonomi. Karenanya, Marx memuji karya Charles Robert Darwin (m. 1882) dalam bidang sains, yang menyimpulkan asal-mula spesis (origin of species) bukan berasal dari Tuhan, tetapi dari “adaptasi kepada lingkungan” (adaptation to the environment). Tidak hanya itu, Auguste Comte (1798-1857), penemu istilah sosiologi, melalui tiga fase teoritisnya, memandang kepercayaan kepada agama merupakan bentuk keterbelakangan masyarakat. Sigmund Freud (m. 1939), seorang psikolog terkemuka menegaskan doktrin-doktrin agama adalah ilusi, hanya karya ilmiahlah satu-satunya jalan untuk membimbing ke arah ilmu pengetahuan. Dalam dunia Filsafat, juga ada Friedrich Nietzsche (1844-1900) yang mengumandangkan God is death; maka pada pertengahan abad ke-20 M Jacques Derrida (1930-2004) pun mendeklarasikan the author is death.

Pemaparan singkat ini melukiskan, tulis Dr. Adnin Armas, konsep ilmu Barat yang hanya bersumber kepada akal dan panca-indera, telah melahirkan berbagai macam faham pemikiran seperti ateisme, rasionalisme, empirisme, skeptisisme, relatifisme, agnotisme, humanisme, sekularisme, eksistensialisme, materialisme, sosialisme, kapitalisme dan liberalisme. Westernisasi ilmu bukan saja telah menceraikan hubungan harmonis antara manusia dan Tuhan, namun juga telah melenyapkan Wahyu sebagai sumber ilmu. Darisinilah, api perkelahian ilmu dengan agama semakin membara.

D. Antara Islamisasi dan Reintegrasi Ilmu-ilmu

Mengamati wajah epistemologi ilmu Barat yang menyulut problem dikotomi pengetahuan, muncullah perbincangan tentang Islamisasi dan reintegrasi ilmu pengetahuan sebagai respons terhadap krisis pendidikan dan ilmu pengetahuan yang sedang diderita oleh umat Islam. Gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan dilontarkan oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas dan Ismail Raji al-Faruqi pada Konferensi Dunia yang pertama tentang Pendidikan Muslim di Makkah tahun 1977. Seminar nasional tentang Islam dan Pendidikan Nasional yang diselenggarakan oleh IAIN Jakarta 25-27 April 1983 antara lain merekomendasikan bahwa pendidikan haruslah dilakukan tanpa bersifat dikotomis terhadap sains dan ilmu agama. Fenomena transformasi IAIN/STAIN menjadi UIN yang semarak sekarang juga berangkat dari kesadaran reintegrasi keilmuan tersebut.

Mengislamkan ilmu bukanlah pekerjaan mudah seperti labelisasi. Selain itu, tidak semua dari Barat berarti ditolak. Sebabnya, terdapat sejumlah persamaan antara Islam dan filsafat dan sains Barat. Oleh sebab itu, Syed Naquib dan Al-Faruqi sepakat bahwa seseorang yang mengislamkan ilmu, ia perlu memenuhi pra-syarat, yaitu ia harus mampu mengidentifikasi pandangan-hidup Islam (the Islamic worldview) sekaligus mampu memahami budaya dan peradaban Barat. Setelah pra-syarat ini, Syed Naquib menawarkan dua proses yang saling terkait demi kesuksesan islamisasi ilmu pengetahuan sebagai berikut:
1)      Mengisolisir unsur-unsur dan konsep-konsep kunci yang membentuk budaya dan peradaban Barat dari setiap bidang ilmu pengetahuan modern saat ini, khususnya dalam ilmu pengetahuan humaniora. Proses isolasi/filterisasi ini -tambah al-Faruqi, menyempurnakan- bisa dilakukan setelah kita benar-benar menguasai obyek bidang yang akan diislamkan serta memahaminya secara sempurna.

2)      Memasukkan unsur-unsur Islam beserta konsep-konsep kunci dalam setiap bidang dari ilmu pengetahuan saat ini yang relevant. Di proses kedua inilah, menurut al Faruqi, peran integrasi ilmu diaktifkan. Setelah proses pertama dilakukan, kita harus mengintegrasikan bidang tersebut ke dalam keutuhan warisan Islam dengan melakukan eliminasi, perubahan, penafsiran kembali, dan penyesuaian terhadap komponen-komponennya sebagai world view Islam dan menetapkan nilai-nilainya.

Jika kedua proses tersebut selesai dilakukan, maka Islamisasi akan membebaskan manusia dari cara pandang dikotmis-dualistik dan dampak-dampak buruk westernisasi ilmu yang dikembangkan Barat ke seluruh dunia. Islamisasi juga mampu membangkitkan peradaban Islam dan umatnya dari keterbelangkan yang telah lama diderita. Apa yang kita upayakan dari Islamisasi ilmu saat ini sebenarnya merupakan perpanjangan dari upaya Ulama klasik era Abbasiyah saat “mengoperasi” khazanah intelektual Yunani yang belum terjamah sebelumnya.

Tentu masih banyak model-model integrasi keilmuan selain yang ditawarkan Syed Naquib dan al Faruqi diatas. Merumuskan model-model integrasi ini secara konsepsional memang cukup pelik. Hal ini terjadi karena berbagai ide dan gagasan integrasi keilmuan muncul secara sporadik, baik konteks tempatnya, waktunya, maupun argumen yang melatarbelakanginya. Dalam makalahnya, Huzni Thoyyar telah mensurvey banyak literatur pemikir muslim kontemporer dan menyimpulkan ada sekitar sepuluh kelompok model integrasi ilmu-ilmu agama-umum.


E. Epilog : Sebuah Mega Proyek

Dalam sejarah pendidikan Indonesia paska kemerdekaan, sebetulnya para pendiri bangsa dan negara ini juga begitu mengharapkan terbentuknya satu sistem pendidikan dan pengajaran nasional yang terpadu, tidak seperti yang diwariskan pemerintah kolonial Belanda yang sekuler dan netral terhadap agama. Pasal 31 ayat 2 UUD 1945 menegaskan bahwa “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang.” Satu sistem pengajaran nasional yang dikehendaki pasal 31 ini kemudian djelaskan oleh PPKI bidang Pengajaran dan Kebudayaan dalam rumusan “Rencana Pokok-pokok Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan”, tepatnya dengan pernyataan bahwa “pendidikan dan pengajaran nasional bersendi agama dan kebudayaan bangsa serta menuju ke arah keselamatan dan kebahagiaan masyarakat,” dan bahwa “usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya, dan persatuan bangsa.”

Jadi, keterpaduan pendidikan antara illmu agama, budaya, dan pengetahuan umum adalah cita-cita bersama. Baik Islam maupun bangsa Indonesia sejak kemerdekaannya hingga kini terus mencari sistem/kurikulum pendidikan yang ideal. Seringnya pergantian kurikulum setiapkali berganti menteri dan beragamnya sistem pengajaran di pondok-pondok pesantren di setiap masa dan tempat tidak lain merupakan proses pencarian sistem yang ideal tersebut. Maka dari itu, sebagai akademisi pendidikan, revitalisasi berbagai sistem pendidikan yang berkembang sekarang adalah sebuah keniscayaan dan “kewajiban” bagi setiap dari kita yang merindukan kebangkitan dan masa depan yang benderang.

Penulis sangat menyadari apa yang telah dipaparkan sedari awal disini masih sangatlah global dan sama sekali belum menyentuh realitas pendidikan yang nyata. Namun, setidaknya tulisan ini merupakan modal dasar untuk memahami dan merekonstruksi setiap sistem pendidikan yang sangat dikotomis dan secara perlahan mengajarakan anak didiknya sekular, bahkan ateisme. Disisi lain, tulisan ini juga diharapkan menjadi pelita bagi setiap sistem pendidikan yang menutup rapat-rapat dinamisasi ilmu pengetahuan umum yang menghegemoni alam pikiran mayoritas masyarakat dunia saat ini. Bahwa membangun sistem pendidikan Islam terpadu saat-saat ini adalah sebuah mega proyek yang harus kita desain seindah mungkin dengan pondasi-pondasi kokoh, sehingga mampu membangunkan peradaban kita dari tidur panjangnya. (lihat kompasiana)

Wallahu A’lam ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar