Ditulis oleh Prof Dr Azyumardi Azra MA*
Pendidikan; tidak ragu lagi bidang ini merupakan prasyarat
utama bagi mobilitas intelektual, sosial, ekonomi, dan agama. Berkat pendidikan
umum dan agama yang kian universal sejak akhir 1970-an, makin banyak pula
anak-anak umat yang mendapatkan akses ilmu pengetahuan dan keterampilan sejak
dari tingkat dasar, menengah, sampai tinggi.
Kian banyak pula mereka yang tidak hanya bergelar S1, tetapi
juga S2 dan S3, baik dari program pascasarjana dalam negeri (yang mulai tumbuh
sejak awal 1980-an) dan luar negeri. Hasilnya, timbullah 'eksplosi'
inteligensia dan intelektual yang mengisi berbagai ruang dan lembaga negeri dan
swasta. Mereka pun menjadi pakar dan narasumber dalam berbagai bidang akademis,
agama, politik, ekonomi, sosial, dan budaya di tingkat nasional ataupun
internasional.
Mobilitas pendidikan dan intelektual hampir secara progresif
menghasilkan mobilitas ekonomi dan sosial. Mereka yang beroleh pendidikan,
khususnya perguruan tinggi, dapat mengisi berbagai lapangan kerja pada beragam
sektor, yang sebelumnya tidak pernah diduduki kaum santri. Dengan memiliki
pekerjaan formal dan profesional, mereka memperoleh penghasilan tetap yang
memungkinkan mereka memenuhi berbagai kebutuhan dasar: pangan, sandang, papan,
dan selanjutnya kendaraan bermotor-kemudian juga menikmati liburan dengan
keluarga.
Perkembangan baik dalam ekonomi dan keuangan ini menimbulkan
berbagai dampak perubahan yang mungkin tidak pernah terbayangkan. Sekali
lagi, lihatlah dalam bidang pendidikan. Berkat kondisi ekonomi dan keuangan
keluarga yang kian stabil, mereka dapat menabung untuk pendidikan anak-anak
mereka.
Mereka menjadi mampu mengirim anak-anak mereka ke
'sekolah/madrasah elite' Islam berbiaya mahal, semacam al-Azhar, al-Izhar, atau
Madrasah Pembangunan; atau sekolah dan madrasah swasta yang mencakup juga
program keislaman yang baik semacam Lab School atau Dwiwarna, atau sekolah
negeri bermutu tinggi yang juga mengenakan biaya relatif mahal.
Daftar sekolah/madrasah ini bisa sangat panjang yang kian
banyak, tidak hanya di Jakarta dan ibu kota provinsi lain, tetapi juga di kota
setingkat kabupaten. Sekolah dan madrasah elite ini segera menjadi 'status
simbol' baru kelas menengah Muslim. Ketika nama sebuah sekolah atau madrasah
semacam ini disebut sebagai tempat belajar seorang anak, secara instan orang
tahu kelas ekonomi keluarga tersebut.
Simbolisme Islam dalam konteks ini menjadi kebanggaan yang
tidak harus berarti riya, apalagi takabur. Semua ini berlangsung secara alamiah
belaka, tetapi ada dampak lebih jauh. Di tengah bangkitnya sekolah/madrasah
elite Islam, praktis kian sedikit orang tua Muslim yang mengirim anak ke
sekolah non-Muslim, yang pernah menjadi simbol kualitas dan sekaligus simbol
stratifikasi sosial-ekonomi.
Memang perlu survei tentang hal terakhir ini, tetapi
terdapat kesan kuat bahwa jumlah pelajar sekolah-sekolah non-Muslim ini merosot
secara signifikan sehingga terpaksa tutup atau merger. Apalagi, pada saat yang
sama sekolah non-Muslim ini juga tersaingi sekolah 'non-sektarian' yang umumnya
menjadi lahan baru bisnis pendidikan warga keturunan semacam sekolah Binus,
misalnya.
Lepas dari hal terakhir, sekolah/madrasah elite Islam
memunculkan dampak lain yang tidak kurang pentingnya. Dari sinilah juga bermula
apa yang saya sebut 'santrinisasi' atau 'resantrinisasi' keluarga Muslim yang
menemukan momentum sejak awal 1990-an. Banyak orang tua Muslim yang mengirim
anak mereka ke sekolah/madrasah elite bukan dari kalangan santri. Mereka lemah
dalam pengetahuan dan praktik keislaman, tetapi ingin anak mereka tidak seperti
ayah ibunya yang lemah keislamannya.
Mereka mau anak mereka lebih tahu tentang Islam di samping
memiliki ilmu pengetahuan berkualitas sehingga dapat lanjut ke perguruan tinggi
papan atas, baik di dalam maupun luar negeri. Anak-anak yang belajar di sekolah
dan madrasah elite ini pada gilirannya menjadi 'guru' bagi orang tua
masing-masing.
Ketika di sekolah/madrasah, misalnya, belajar dan hafal
berbagai macam doa-seperti doa sebelum makan-mereka selanjutnya juga meminta
orang tua masing-masing membaca doa. Kalangan orang tua yang merasa 'malu' pada
anak mereka sendiri, misalnya, karena tidak bisa menjadi imam shalat dengan
baik, tidak bisa memimpin doa, atau tidak bisa membaca Alquran dengan baik.
Akhirnya, mereka 'terpaksa' kembali belajar Islam apakah secara sendiri atau
mendatangkan guru privat agama. Inilah persisnya 'santrinisasi' atau
'resantrinisasi' keluarga.
Mengingat amat pentingnya peran pendidikan dalam mobilitas
intelektual, ekonomi, sosial, dan keagamaan, tantangan dan tuntutan ke depan
adalah meningkatkan mutu dan keterjangkauan sekolah/madrasah, khususnya swasta.
Hal ini tidak lain karena masih banyak sekolah/madrasah yang bukan hanya
bermutu rendah, bahkan prasarana belajarnya saja sangat memprihatinkan.
Akhirnya, anak-anak bangsa yang terpaksa belajar di
sekolah/madrasah semacam ini terjebak dalam lingkaran keterbelakangan
pendidikan dan kemiskinan yang seolah tidak pernah terpecahkan.
sumber : http://www.uinjkt.ac.id/
sumber : http://www.uinjkt.ac.id/
*) Penulis adalah Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar